Seorang anak tentunya tidak langsung dapat mengenal alam
sekitar mengerti dan memahami segalanya dengan sendirinya, melainkan dibutuhkan
pendidikan keluarga, pendidikan kelembagaan dan pendidikan di masyarakat.
Keluarga sebagai komunitas pertama memiliki peran penting dalam pembangunan
mental dan karakteristik sang anak. Di dalam keluarga, anak belajar dan
menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Interaksi yang terjadi bersifat dekat
dan intim, segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya, dan
sebaliknya apa yaang didapati anak dari keluarganya akan mempengaruhi
perkembangan jiwa, tingkah laku, cara pandang dan emosinya. Dengan demikian
pola asuh yang diterapkan orang tua dalam keluarganya memegang peranan penting
bagi proses interaksi anak di lingkungan masyarakat kelak.
“Kehidupan keluarga yang senantiasa dibingkai dengan lembutnya
cinta kasih dan nuansa yang islami, dari sana akan hadirlah individi-individu
dengan tumbuh kembang yang wajar sebagaimana diharapkan. Sebaliknya keluarga
yang dinding kehidupannya dipahat dengan sentakan-sentakan, broken home,
broken heart, perlakuan sadis dan kekejaman tercerai berainya benang-benang
kasih sayang dan jalinan cinta, maka keluarga beginilah yang bakal alias cikal
bakal menjadi suplayer limbah-limbah kehidupan sosial dan sampah-sampah
masyarakat yang menyedihkan.[1]
Tidak dapat dipungkiri, jika dasar pendidikan yang menjadi
landasan dan tongkat estafet pendidikan anak selanjutnya adalah pendidikan
keluarga. Apabila pondasi pendidikan dibangun dengan kuat maka pembangunan
pendidikan selanjutnya akan mudah dan berhasil dengan baik, sebaliknya jika
pondasi pendidikan lemah dan berantakan, sulit kiranya membangun pendidikan
selanjutnya.
Gilbert Highest dalam Jalaludin mengatakan bahwa: kebiasaan
yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga.
Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak
menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga (Gilbert
Highest, 1961: 78).[2]
Dari apa yang diungkapkan Gilbert, kita dapat mengetahui
memang pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dari keluarga,
bagaimana orang tua berprilaku akan selalu menjadi perhatian anak, dan akan
ditanamkan di benaknya. Anak lahir berdasarkan fitrahnya. Jika pendidikan yang
baik diterapkan orang tuanya maka banyak hal baik yang dapat ditiru anak tersebut
dalam prilakunya. Lain halnya dengan anak yang dididik dengan cemoohan dan
ejekan dari setiap kegagalan yang ia dapati, maka anak tersebut akan selalu
hidup dalam ketakutan dan kegelisahan disebabkan hasil perbuatannya yang tidak
memuaskan orang tuanya.
Dalam keluarga, seorang anak akan mendapati hal-hal yang
tidak didapati di lingkungan formal maupun lingkungan masyarakat, seperti
perhatian yang penuh, kasih sayang, belaian hangat kedua orang tua dan banyak
hal lain lagi. Berbeda dengan lingkungan sekolah dan masyarakat, keluarga
menjadi motor penggerak keberhasilan anak dalam mencapai inspirasi
peergaulannya dengan teman-temannya serta lingkungan masyarakat sekitar. Orang
tua yang menanamkan rasa kasih sayang dalam keluarga akan menimbulkan keharmonisan
dalam interaksi dengan sang anak. Segala permasalahan yang dijumpai anak akan
mudah diketahui melalui pendekatan secara personal.
Seorang anak akan merasa termotivasi jika hasil jerih payah
dan prestasinya dihargai orang tua, sehingga keharmonisan hubungan keduanya
memiliki peranan penting dalam perkembangan anak tersebut dalam peningkatan
prestasi belajar. Akan tetapi terkadang kita jumpai orang tua yang memaksakan
kehendaknya agar anak dapat memenuhi keinginan orang tuanya itu. Hal ini akan
menimbulkan rasa keterpaksaan pada diri anak baik dalam bidang prestasi, tugas
maupun kewajibannya. Rasa keterpaksaan itu akan mengakibatkan timbulnya rasa
malas dan mematikan rasa kesadaran diri dalam berbuat. Banyak kita dapati
seorang anak takut gagal dalam berprestasi, sebab dampak yang akan didapati
dari kegagalannya berupa hukuman maupun siksaan dari orang tuannya. Bagi
sebagian anak yang tidak mendapatkan perhatian dari orang tuannya, berprestasi
adalah sesuatu hal yang tidak penting baginya sebab segala tindakan yang ia
lakukan tidak pernah dihiraukan oleh orang tuanya, sehingga berprestasi ataupun
tidak merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa saja.
Syamsu Yusuf mengatakan: “Keluarga yang fungsional ditandai
oleh karakteristik: (a) saling memperhatikan dan menyintai (b) bersikap
terbuka (c) orang tua mau mendengarkan anak, menerima perasaannya dan
menghargai pendapatnya (d) ada “sharing” masalah atau pendapat
diantara anggota keluarga (e) mampu berjuang mengatasi hidupnya (f)
saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi (g) orang tua melindungi/mengayomi
anak (h) komunikasi antara anggota keluarga berlangsung dengan baik (i)
keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai budaya
(j) mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.[3]
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam keluarga
terjadi proses interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan
pengasuhan. Proses pengasuhan tersebut seperti mendidik, membimbing dan
mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kematangan sesuai yang
diharapkan. Penggunaan pola asuh tertentu memberikan dampak dalam mewarnai
setiap perkembangan terhadap bentuk-bentuk prilaku tertentu pada anak, seperti
prilaku agresif yang sering terjadi.
Keharmonisan dan rasa demokrasi tidak selalu seperti yang
kita harapkan, hingga saat sekarang ini masih banyak orang tua yang menerapkan
kekerasan dalam mendidik anaknya. Mereka beranggapan pendidikan yang keras akan
dapat mewujudkan keinginan dan harapannya, seperti prestasi, budi pekerti dan
lain-lain. Namun sebaliknya kenyataan yang kita jumpai justru bertolak belakang
dengan harapan-harapan yang diinginkan. Anak yang dididik keras akan timbul
rasa tertekan dan takut, ada juga anak yang diberi kebebasan sehingga anak
tersebut malas dan enggan untuk mencapai prestasi yang lebih baik, sebab tidak
adanya perhatian dan tanggapan dari orang tuannya atas apa yang yang diraihnya.
Pola Asuh
Pola asuh berasal dari kata pola dan asuh. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia kata pola mempunyai arti gambar yang dipakai untuk
contoh batik; corak batik atau tenun; ragi atau suri; potongan kertas yang
dipakai model; sistem; cara kerja; – permainan – pemerintahan, bentuk struktur
yang tetap- kalimat; dalam puisi, adalah sajak yang dinyatakan dengan bunyi gerak
kata atau arti. Sedangkan Asuh berarti menjaga merawat dan mendidik anak
kecil; membimbing membantu dan melatih, dsb; memimpin mengepalai,
menyelenggarakan suatu badan atau kelembagaan.[4]
Kegiatan pengasuhan banyak diartikan sebagai usaha dalam
mendidik anak. Orang tua sebagai pendidik memilih pola asuh yang sesuai dalam
mempengaruhi perkembangan anak, serta membimbingnya kepada kehidupan yang layak
dan bermartabat. Proses pengasuhan selalu bersifat dinamis dalam mencari bentuk
atau pola asuh yang lebih efektif dan baik. Banyak para ahli mengemukakan
definisi dan bentuk-bentuk pola asuh yang tepat. Laurrence Steinburg
mendefinisikan; Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang sesuai dengan kondisi
psikologis dengan unsur-unsur seperti kejujuran, empati, mengendalikan diri
sendiri, kebaikan hati, kerja sama, pengendalian diri, dan kebahagiaan.
Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang membantu anak berhasil di sekolah,
mendukung perkembangan keingintahuan intelektual, motivasi belajar, dan
keinginan untuk mencapai sesuatu. Pengasuhan yang baik adalah yang menjauhkan
anak dari prilaku anti sosial, melakukan pelanggaran hukum ringan, serta
pemakaian narkoba dan alkohol. Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang
membantu melindungi anak dari berkembangnya keresahan, depresi, gangguan makan
dan berbagai masalah psikologi lain.[5]
Secara umum dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa pengasuhan adalah kegiatan dalam rangka mendidik, membimbing, mengarahkan
anak, baik secara fisik maupun mental, keyakinan hidup dan moral. Dalam hal ini
ayah dan ibu memiliki peran sebagai seorang pendidik dalam lingkungan keluarga
dalam upaya mengarahkan anak dalam prilaku dan norma-norma yang baik.
Tingkah laku orang tua selalu menjadi tolak ukur anak dalam
proses pendidikan dalam keluarga. Anak akan meniru orang tua dalam bersikap dan
berprilaku baik hal tersbut disadari ataupun tidak. Semenjak dilahirkan ke
dunia, anak akan meniru prilaku orang tua dan tak ada yang dapat dilakukan
orang tua untuk mencegah hal tersebut. Kecenderungan seorang anak menirukan
segala sesuatu yang muncul dari prilaku orang tua disebabkan karena mereka
memiliki keinginan yang kuat untuk tumbuh berkembang menjadi seperti ibu dan
ayahnya. Tidak jarang kita jumpai orang tua yang melarang anaknya
bertindak agresif, namun tidak disadari orang tua tersebut melakukannya
sehingga tidak menutup kemungkinan anak itu melakukan tindakan yang sama pada
teman atau pun keluarga yang lain.
Tugas mendidik dan mengasuh anak tidak sepenuhnya dapat
dilaksanakan dalam keluarga, seperti pendidikan ketrampilan, pengetahuan,
wawasan dan pengalaman. Oleh sebab itu keluarga membutuhkan lembaga pendidikan
lain yaitu pendidikan sekolah. Dengan demikian pendidikan di sekolah merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan keluarga. Pendidikan di
sekolah juga merupakan penghubung antara kehidupan anak dalam keluarga dan
kehidupan di masyarakat.
Akan tetapi masuknya anak ke pendidikan sekolah tidak
berarti orang tua telah selesai dalam pengasuhan, justru sekolah menjadi mitra
bagi orang tua dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang ada seiring
kegiatan pengasuhan tersebut. Orang tua akan menjadi lebih yakin dan mantap
dalam mengikuti perkembangan anaknya. Rasa yang sama juga akan muncul pada diri
anak seiring keikutsertaan orang tua dalam pendidikan sekolah. Hal penting yang
dapat dilihat dari keikutsertaan orang tua dalam pendidikan sekolah adalah
orang tua dapat mengetahui segala bentuk permasalahan anak di sekolah sehingga
dapat bekerjasama dengan guru untuk menyelesaikannya.
Keterlibatan orang tua dalam sekolah bukan hanya dengan ikut
membantu anak dalam mengerjakan tugas rumahnya, melainkan lebih pada hubungan
wali siswa-sekolah, baik pada komite sekolah, bimbingan penyuluhan atau hal-hal
yang berkenaan dengan pendidikan anak di sekolah. Perhatian orang tua terhadap
anak dapat diwujudkan dengan membangun kebiasaan bekerja secara teratur dan
disiplin pada setiap tugas dan kewajiban sebagai seorang siswa.
Adapun dalam lingkungan masyarakat, pergaulan dengan
teman-teman sebaya memiliki pengaruh yang kuat pada prilaku anak. Orang tua
hendaknya dapat memberikan perhatian yang baik pula. Pada masa kecil orang tua
dapat mengatur pergaulan anak dan mengarahkannya kepada teman-teman yang
dianggap baik. Begitu pula pada masa remaja orang tua dapat mengarahkan agar
bergaul dengan anak-anak yang telah jelas memiliki latar belakang baik dan
prilkau yang baik pula.
Adapun pengasuhan orang tua di dalam keluarga ada tiga
pola:[6]
1. Pola Asuh Otoriter
2. Pola Asuh Permisip
3. Pola Asuh Demokrasi
Pola Asuh Otoriter (PAO)
Setiap orang tua pastilah menghendaki anaknya menjadi orang
yang berguna dan mencapai kebahagiaan kelak. Akan tetapi dalam mengasuh tidak
jarang kita mendapati orang tua yang mengambil langkah dan sikap yang otoriter
dalam mendidik anaknya. Seringkali orang tua lebih mengedepankan kuatnya
keinginan dan cita-cita agar anak meraih keberhasilan di masa datang. Mereka
selalu berfikir apa yang meraka lakukan semata-mata demi kebaikan sang anak dan
mengesampingkan perasaan dan kondisi anak tersebut.
Pola asuh otoriter juga sangat berpengaruh pada perkembangan
mental anak. Orang tua memiliki kebutuhan kuat untuk memegang kendali, namun
pada dasarnya sikap otoriter dimaksudkan untuk hal-hal yang baik. Orang tua
tidak menginginkan anaknya mengalami kegagalan, bahaya, ataupun sesuatu buruk
yang menimpanya, namun perkembangan mental anak akan terganggu, sebagaimana diungkapkan
Laurence berikut: “Pada akhirnya satu-satunya cara agar anak anda bisa
benar-benar sehat, bahagia dan sukses adalah jika anda memberikan kebebasan
untuk mencoba dan membuat keputusannya sendiri meskipun itu membuka kemungkinan
dia akan sakit hati dan kecewa. Pengasuhan yang baik melibatkan keseimbangan
antara keterlibatan dan kemandirian. Jika keduanya dilakukan secara berlebihan-
jika orang tua tidak peduli atau terlalu ikut campur- maka kesehatan mental
akan rusak.[7]
Banyak hal negatif yang akan timbul pada diri anak akibat
sikap otoriter yang diterapkan orang tua, seperti takut, kurang memiliki
keyakinan diri, menjadi pembangkang, penentang ataupun kurang aktif. Orang tua
seperti itu selalu memberikan pengawasan berlebih pada anak sehingga hal-hal
yang kecil pun harus terlaksana sesuai keinginannya. Disisi lain, orang tua
tersebut lebih seperti polisi yang selalu memberi pengawasan dan aturan-aturan
tanpa mau mengerti anak.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa diantara hal-hal
negatif yang akan timbul adalah sikap penentang pada anak. Dari kelompok
penentang dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe.[8]
Pertama, tipe penentang aktif. Mereka menjadi keras
kepala, suka membantah dan membangkang apa saja kehendak orang tua. Mereka
marah karena orang tua tak menghargai dirinya sebagai manusia. Untuk melawan
jelas tak bisa karena sang “polisi” punya kekuatan besar. Maka jalan yang
dipilihnya adalah menyakiti hatinya.
Kedua, tipe pemberontak dengan cara halus, sadar bahwa
tubuh kecilnya tidak mampu menandingi kekuatan “Polisi” yang tak lain orang
tuanya sendiri mereka memilih sikap diam, tapi tidak juga mengikuti perintah.
Ketiga, tipe selalu terlambat. Anak-anak seperti itu
baru mau mengerjakan suatu perintah setelah terlebih dahulu melihat orang
tuannya jengkel, marah, dan mengomel karena kemalasannya.
Pola Asuh Permisif (PAP)
Orang tua yang baik tentunya tidak pernah bercita-cita
menjadikan anaknya sebagai sampah masyarakat, tidak berguna dan tidak disiplin.
Namun terkadang kita masih mendapati orang tua yang rela membiarkan anaknya
tanpa bimbingan dan arahan. Anak menjadi tak terarah, dan merasa orang tuanya
telah memberikan kebebasan sepenuhnya pada dirinya, sehingga setiap keputusan
yang ia ambil adalah sepenuhnya hak priadi yang tak seorang pun dapat
mencampurinya.
Dalam pendidikan sekolah, pola asuh permisif yang diterapkan
orang tua akan memberi dampak kurangnya prestasi belajar, anak bisa saja
menjadi malas dan tidak peduli dengan hasil belajar yang ia raih dikarenakan
tidak adanya perhatian dari orang tua. Orang tua merasa tidak mampu memberikan
pendidikan dan pengasuhan dengan baik sehingga menyerahkan sepenuhnya
pendidikan kepada sekolah. Mereka melupakan peran penting dalam keluarga
sebagai pendidik, pengasuh, pembimbing, pemberi motivasi, kasih sayang dan
perhatian.
Seorang anak yang berkembang tanpa batasan dan aturan dan
perhatian akan mengalami ketidakjelasan hidup dan hilangnya contoh teladan yang
berakibat pada beralihnya anak kepada lingkungan, teman atau orang-orang
terdekatnya dan menjadikannya figur. Mengenai pola asuh Permisif, Diana
Braumrind dalam Syamsu Yusuf LN, menjelaskan sikap atau prilaku orang tua
sebagai berikut:
1. Sikap ”Acceptance”nya
tinggi, namun kontrolnya rendah
2. Memberi kebebasan kepada
anak untuk menyatakan dorongan/keinginannya
Profil Prilaku Anak:
1. Bersikap Impulsif dan
Agresif
2. Suka memberontak
3. Kurang memiliki rasa
percaya diri dan pengendalian diri
4. Suka mendominasi
5. Tidak jelas arah hidupnya
6. Prestasinya rendah[9]
Dapat disimpulkan bahwa anak yang mendapati pengasuhan dari
orang tuanya dengan pola asuh permisif akan cinderung bersifat bebas tanpa
aturan, dan memiliki emosi yang tidak stabil dan meledak-ledak, sedangkan orang
tua tidak lagi dianggap sebagai sosok yang memiliki peran dan tauladan baginya.
Ia menganggap bahwa apa yang ia raih adalah bersumber dari pribadinya dan tidak
ada yang dapat memberikan aturan maupun larangan.
Pola Asuh Demokrasi (PAD)
Hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak semestinya
didasari prinsip saling menghormati dan kasih sayang. Apabila orang tua selalu
mengedepankan pendekatan secara personal dengan curahan kasih sayang, maka akan
terbentuklah kepercayaan yang besar dalam diri anak. Anak akan bersikap terbuka
kepada orang tuanya sehingga segala permasalahan dapat dicari kunci
penyelesaianya. Selain itu orang tua lebih mudah memberi pengarahan dan nasihat
serta meninggalkan cara-cara paksaan dan intimidasi.
Prilaku anak akan terbentuk secara bertahap menuju kepada
kepribadian yang baik. Dorongan yang kuat secara terus-menerus sangat
diharapkan dari orang tua. Sosok orang tua yang demokratis tidak mengedepankan
kepentingan pribadinya, akan tetapi tetap menghargai dan memperhatikan
kepentingan anak sebagai seorang individu diantara komunitas manusia. Dengan
kata lain, orang tua selalu melihat kepentingan bersama sebagai pembatas dari
kebebasan seorang inividu.
Latar belakang pengasuhan yang didapati anak tentulah sangat
berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya, sebab hal-hal yang ia dapati
dari pola pengasuhan orang tuanya akan menjadi bekal sikap dan prilakunya pada
kehidupannya kelak.
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan
pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan baik agama maupun sosial budaya yang
diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi
pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.[10]
Jadi, sudah jelas bahwa pola asuh demokrasi sangat memberi
dampak positif pada perkembangan anak. Orang tua dapat mencurahkan kasih sayang
dan perhatiannya kepada anak secara baik dan sepenuhnya tanpa menggunakan
cara-cara pemaksaan dan dan kekerasan. Dalam hal ini, orang tua harus menguasai
komunikasi yang tepat dalam melakukan pendekatan agar proses pengasuhan dapat
berjalan baik dan tidak mempengaruhi mental maupun perkembangannya.
Pola asuh demokrasi sangat mirip dengan apa yang dijelaskan
Diana Baumrind Western dan Lioyd, 1994: 359-360; Sigelmen dan Sheffer, 1995:
396 mengenai hasil penelitiannya melalui observasi dan wawancara terhadap siswa
taman kanak-kanak. Ia menjelaskan tentang parenting stayle Pola Asuh, diantara
tiga tipe; Authoritarian, Permissive, dan Authorotative, tipe yang yang sama
dengan pola asuh demokrasi adalah Authoritative. Beberapa sikap yang diambil
orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak yaitu:
1. Sikap “Acceptance” dan
kontrolnya tinggi
2. Bersikap responsive tehadap
kebutuhan anak
3. Mendorong anak untuk
menyatakan pendapat atau pertanyaan
4. Memberikan penjelasan
tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk.
Profil Prilaku Anak yang ditimbulkan:
1. Bersikap bersahabat
2. Memiliki rasa percaya diri
3. Mampu mengendalikan diri
Self Control
4. Bersikap Sopan
5. Mau bekerjasama
6. Memiliki rasa ingin tahunya
yang tinggi
7. Mempunyai tujuan/arah hidup
yang jelas
8. Berorientasi terhadap
prestasi[11]
Dari paparan diatas dapat dilihat bahwa sikap demokratis
orang tua tercermin dari tindakannya mau menghargai pribadi anak, serta menegur
tindakan yang salah dari prilakunya secara baik-baik seperti yang dikatakan
Irawati Istadi: “Harus dibedakan antara pribadi anak dengan prilaku bisa saja
salah, tetapi pribadi anak tetap senantiasa baik.[12]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan yang dipakai
orang tua dalam pengasuhan sangat memberi dampak pada perkembangan anak,
sehingga pola asuh demokrasi merupakan pola asuh yang baik dalam pengasuhan.
[1] Ahmadi Sofyan, Panduan Mendidik Remaja masa Kini
the Best Parents in Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2002), h. 75
[2] Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 219
[3] Syansu Yusuf LN, Psikologi perkembangan anak dan
remaja, (Bandung: Remaja Rosda karya, 2005), h.25
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 885.
[5] Laurence Steinberg, 10 Basic principles of good
parenting. 10 prinsip dasar pengasuhan yang primaagar anda tidak menjadi orang
tua yang gagal, Penerjemah, Lovly, (Bandung: Kaifa, 2005), h.24.
[6] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan
Sistematis, (Yogyakarta: IKIP, 1976), h.123
[7]Laurence Steinberg, op. Cit., h. 94.
[8] Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, (Bekasi:
Pustaka Inti, 2006), h. 21
[9] Syamsu Yusuf LN, Op. Cit., h. 52
[10]Syamsu Yusuf LN, Op. Cit., h. 38
[11] Syamsu Yusuf LN, Op. Cit., h. 52
[12] Irawati Istadi, op. Cit., h. 61