Selasa, 25 Maret 2014

Seorang anak tentunya tidak langsung dapat mengenal alam sekitar mengerti dan memahami segalanya dengan sendirinya, melainkan dibutuhkan pendidikan keluarga, pendidikan kelembagaan dan pendidikan di masyarakat. Keluarga sebagai komunitas pertama memiliki peran penting dalam pembangunan mental dan karakteristik sang anak. Di dalam keluarga, anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Interaksi yang terjadi bersifat dekat dan intim, segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya, dan sebaliknya apa yaang didapati anak dari keluarganya akan mempengaruhi perkembangan jiwa, tingkah laku, cara pandang dan emosinya. Dengan demikian pola asuh yang diterapkan orang tua dalam keluarganya memegang peranan penting bagi proses interaksi anak di lingkungan masyarakat kelak.

“Kehidupan keluarga yang senantiasa dibingkai dengan lembutnya cinta kasih dan nuansa yang islami, dari sana akan hadirlah individi-individu dengan tumbuh kembang yang wajar sebagaimana diharapkan. Sebaliknya keluarga yang dinding kehidupannya dipahat dengan sentakan-sentakan, broken home, broken heart, perlakuan sadis dan kekejaman tercerai berainya benang-benang kasih sayang dan jalinan cinta, maka keluarga beginilah yang bakal alias cikal bakal menjadi suplayer limbah-limbah kehidupan sosial dan sampah-sampah masyarakat yang menyedihkan.[1]

Tidak dapat dipungkiri, jika dasar pendidikan yang menjadi landasan dan tongkat estafet pendidikan anak selanjutnya adalah pendidikan keluarga. Apabila pondasi pendidikan dibangun dengan kuat maka pembangunan pendidikan selanjutnya akan mudah dan berhasil dengan baik, sebaliknya jika pondasi pendidikan lemah dan berantakan, sulit kiranya membangun pendidikan selanjutnya.

Gilbert Highest dalam Jalaludin mengatakan bahwa: kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak  menerima pengaruh dan pendidikan  dari lingkungan keluarga (Gilbert Highest, 1961: 78).[2]

Dari apa yang diungkapkan Gilbert, kita dapat mengetahui memang pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dari keluarga, bagaimana orang tua berprilaku akan selalu menjadi perhatian anak, dan akan ditanamkan di benaknya. Anak lahir berdasarkan fitrahnya. Jika pendidikan yang baik diterapkan orang tuanya maka banyak hal baik yang dapat ditiru anak tersebut dalam prilakunya. Lain halnya dengan anak yang dididik dengan cemoohan dan ejekan dari setiap kegagalan yang ia dapati, maka anak tersebut akan selalu hidup dalam ketakutan dan kegelisahan disebabkan hasil perbuatannya yang tidak memuaskan orang tuanya.

Dalam keluarga, seorang anak akan mendapati hal-hal yang tidak didapati di lingkungan formal maupun lingkungan masyarakat, seperti perhatian yang penuh, kasih sayang, belaian hangat kedua orang tua dan banyak hal lain lagi. Berbeda dengan lingkungan sekolah dan masyarakat, keluarga menjadi motor penggerak keberhasilan anak dalam mencapai inspirasi peergaulannya dengan teman-temannya serta lingkungan masyarakat sekitar. Orang tua yang menanamkan rasa kasih sayang dalam keluarga akan menimbulkan keharmonisan dalam interaksi dengan sang anak. Segala permasalahan yang dijumpai anak akan mudah diketahui melalui pendekatan secara personal.

Seorang anak akan merasa termotivasi jika hasil jerih payah dan prestasinya dihargai orang tua, sehingga keharmonisan hubungan keduanya memiliki peranan penting dalam perkembangan anak tersebut dalam peningkatan prestasi belajar. Akan tetapi terkadang kita jumpai orang tua yang memaksakan kehendaknya agar anak dapat memenuhi keinginan orang tuanya itu. Hal ini akan menimbulkan rasa keterpaksaan pada diri anak baik dalam bidang prestasi, tugas maupun kewajibannya. Rasa keterpaksaan itu akan mengakibatkan timbulnya rasa malas dan mematikan rasa kesadaran diri dalam berbuat. Banyak kita dapati seorang anak takut gagal dalam berprestasi, sebab dampak yang akan didapati dari kegagalannya berupa hukuman maupun siksaan dari orang tuannya. Bagi sebagian anak yang tidak mendapatkan perhatian dari orang tuannya, berprestasi adalah sesuatu hal yang tidak penting baginya sebab segala tindakan yang ia lakukan tidak pernah dihiraukan oleh orang tuanya, sehingga berprestasi ataupun tidak merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa saja.

Syamsu Yusuf mengatakan: “Keluarga yang fungsional ditandai oleh karakteristik:  (a) saling memperhatikan dan menyintai (b) bersikap terbuka (c) orang tua mau mendengarkan anak, menerima perasaannya dan menghargai pendapatnya (d) ada “sharing” masalah atau pendapat diantara anggota keluarga  (e) mampu berjuang mengatasi hidupnya (f) saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi (g) orang tua melindungi/mengayomi anak (h) komunikasi antara anggota keluarga berlangsung dengan baik (i) keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai budaya (j) mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.[3]

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam keluarga terjadi proses interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Proses pengasuhan tersebut seperti mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kematangan sesuai yang diharapkan. Penggunaan pola asuh tertentu memberikan dampak dalam mewarnai setiap perkembangan terhadap bentuk-bentuk prilaku tertentu pada anak, seperti prilaku agresif yang sering terjadi.

Keharmonisan dan rasa demokrasi tidak selalu seperti yang kita harapkan, hingga saat sekarang ini masih banyak orang tua yang menerapkan kekerasan dalam mendidik anaknya. Mereka beranggapan pendidikan yang keras akan dapat mewujudkan keinginan dan harapannya, seperti prestasi, budi pekerti dan lain-lain. Namun sebaliknya kenyataan yang kita jumpai justru bertolak belakang dengan harapan-harapan yang diinginkan. Anak yang dididik keras akan timbul rasa tertekan dan takut, ada juga anak yang diberi kebebasan sehingga anak tersebut malas dan enggan untuk mencapai prestasi yang lebih baik, sebab tidak adanya perhatian dan tanggapan dari orang tuannya atas apa yang yang diraihnya.

Pola Asuh

Pola asuh berasal dari kata pola dan asuh. Dalam kamus besar bahasa Indonesia  kata pola mempunyai arti gambar yang dipakai untuk contoh batik; corak batik atau tenun; ragi atau suri; potongan kertas yang dipakai model; sistem; cara kerja; – permainan – pemerintahan, bentuk struktur yang tetap- kalimat; dalam puisi, adalah sajak yang dinyatakan dengan bunyi gerak kata atau arti. Sedangkan Asuh berarti menjaga  merawat dan mendidik anak kecil; membimbing membantu dan melatih, dsb; memimpin mengepalai, menyelenggarakan suatu badan atau kelembagaan.[4]

Kegiatan pengasuhan banyak diartikan sebagai usaha dalam mendidik anak. Orang tua sebagai pendidik memilih pola asuh yang sesuai dalam mempengaruhi perkembangan anak, serta membimbingnya kepada kehidupan yang layak dan bermartabat. Proses pengasuhan selalu bersifat dinamis dalam mencari bentuk atau pola asuh yang lebih efektif dan baik. Banyak para ahli mengemukakan definisi dan bentuk-bentuk pola asuh yang tepat. Laurrence Steinburg mendefinisikan; Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang sesuai dengan kondisi psikologis dengan unsur-unsur seperti kejujuran, empati, mengendalikan diri sendiri, kebaikan hati, kerja sama, pengendalian diri, dan kebahagiaan. Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang membantu anak berhasil di sekolah, mendukung  perkembangan keingintahuan intelektual, motivasi belajar, dan keinginan untuk mencapai sesuatu. Pengasuhan yang baik adalah yang menjauhkan anak dari prilaku anti sosial, melakukan pelanggaran hukum ringan, serta pemakaian narkoba dan alkohol. Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang membantu melindungi anak dari berkembangnya keresahan, depresi, gangguan makan dan berbagai masalah psikologi lain.[5]

Secara umum dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengasuhan adalah kegiatan dalam rangka mendidik, membimbing, mengarahkan anak, baik secara fisik maupun mental, keyakinan hidup dan moral. Dalam hal ini ayah dan ibu memiliki peran sebagai seorang pendidik dalam lingkungan keluarga dalam upaya mengarahkan anak dalam prilaku dan norma-norma yang baik.

Tingkah laku orang tua selalu menjadi tolak ukur anak dalam proses pendidikan dalam keluarga. Anak akan meniru orang tua dalam bersikap dan berprilaku baik hal tersbut disadari ataupun tidak. Semenjak dilahirkan ke dunia, anak akan meniru prilaku orang tua dan tak ada yang dapat dilakukan orang tua untuk mencegah hal tersebut. Kecenderungan seorang anak menirukan segala sesuatu yang muncul dari prilaku orang tua disebabkan karena mereka memiliki keinginan yang kuat untuk tumbuh berkembang menjadi seperti ibu dan ayahnya. Tidak jarang kita jumpai orang tua  yang melarang anaknya bertindak agresif, namun tidak disadari orang tua tersebut melakukannya sehingga tidak menutup kemungkinan anak itu melakukan tindakan yang sama pada teman atau pun keluarga yang lain.

Tugas mendidik dan mengasuh anak tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan dalam keluarga, seperti pendidikan ketrampilan, pengetahuan, wawasan dan pengalaman. Oleh sebab itu keluarga membutuhkan lembaga pendidikan lain yaitu pendidikan sekolah. Dengan demikian pendidikan di sekolah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan keluarga. Pendidikan di sekolah juga merupakan penghubung antara kehidupan anak dalam keluarga dan kehidupan di masyarakat.

Akan tetapi masuknya anak ke pendidikan sekolah tidak berarti orang tua telah selesai dalam pengasuhan, justru sekolah menjadi mitra bagi orang tua dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang ada seiring kegiatan pengasuhan tersebut. Orang tua akan menjadi lebih yakin dan mantap dalam mengikuti perkembangan anaknya. Rasa yang sama juga akan muncul pada diri anak seiring keikutsertaan orang tua dalam pendidikan sekolah. Hal penting yang dapat dilihat dari keikutsertaan orang tua dalam pendidikan sekolah adalah orang tua dapat mengetahui segala bentuk permasalahan anak di sekolah sehingga dapat bekerjasama  dengan guru untuk menyelesaikannya.

Keterlibatan orang tua dalam sekolah bukan hanya dengan ikut membantu anak dalam mengerjakan tugas rumahnya, melainkan lebih pada hubungan wali siswa-sekolah, baik pada komite sekolah, bimbingan penyuluhan atau hal-hal yang berkenaan dengan pendidikan anak di sekolah. Perhatian orang tua terhadap anak dapat diwujudkan dengan membangun kebiasaan bekerja secara teratur dan disiplin pada setiap tugas dan kewajiban sebagai seorang siswa.

Adapun dalam lingkungan masyarakat, pergaulan dengan teman-teman sebaya memiliki pengaruh yang kuat pada prilaku anak. Orang tua hendaknya dapat memberikan perhatian yang baik pula. Pada masa kecil orang tua dapat mengatur pergaulan anak dan mengarahkannya kepada teman-teman yang dianggap baik. Begitu pula pada masa remaja orang tua dapat mengarahkan agar bergaul dengan anak-anak yang telah jelas memiliki latar belakang baik dan prilkau yang baik pula.

Adapun pengasuhan orang tua di dalam keluarga ada tiga pola:[6]
1.      Pola Asuh Otoriter
2.      Pola Asuh Permisip
3.      Pola Asuh Demokrasi

Pola Asuh Otoriter (PAO)

Setiap orang tua pastilah menghendaki anaknya menjadi orang yang berguna dan mencapai kebahagiaan kelak. Akan tetapi dalam mengasuh tidak jarang kita mendapati orang tua yang mengambil langkah dan sikap yang otoriter dalam mendidik anaknya. Seringkali orang tua lebih mengedepankan kuatnya keinginan dan cita-cita agar anak meraih keberhasilan di masa datang. Mereka selalu berfikir apa yang meraka lakukan semata-mata demi kebaikan sang anak dan mengesampingkan perasaan dan kondisi anak tersebut.

Pola asuh otoriter juga sangat berpengaruh pada perkembangan mental anak. Orang tua memiliki kebutuhan kuat untuk memegang kendali, namun pada dasarnya sikap otoriter dimaksudkan untuk hal-hal yang baik. Orang tua tidak menginginkan anaknya mengalami kegagalan, bahaya, ataupun sesuatu buruk yang menimpanya, namun perkembangan mental anak akan terganggu, sebagaimana diungkapkan Laurence berikut: “Pada akhirnya satu-satunya cara agar anak anda bisa benar-benar sehat, bahagia dan sukses adalah jika anda memberikan kebebasan untuk mencoba dan membuat keputusannya sendiri meskipun itu membuka kemungkinan dia akan sakit hati dan kecewa. Pengasuhan yang baik melibatkan keseimbangan antara keterlibatan dan kemandirian. Jika keduanya dilakukan secara berlebihan- jika orang tua tidak peduli atau terlalu ikut campur- maka kesehatan mental akan rusak.[7]

Banyak hal negatif yang akan timbul pada diri anak akibat sikap otoriter yang diterapkan orang tua, seperti takut, kurang memiliki keyakinan diri, menjadi pembangkang, penentang ataupun kurang aktif. Orang tua seperti itu selalu memberikan pengawasan berlebih pada anak sehingga hal-hal yang kecil pun harus terlaksana sesuai keinginannya. Disisi lain, orang tua tersebut lebih seperti polisi yang selalu memberi pengawasan dan aturan-aturan tanpa mau mengerti anak.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa diantara hal-hal negatif yang akan timbul adalah sikap penentang pada anak. Dari kelompok penentang dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe.[8]

Pertama, tipe penentang aktif. Mereka menjadi keras kepala, suka membantah dan membangkang apa saja kehendak orang tua. Mereka marah karena orang tua tak menghargai dirinya sebagai manusia. Untuk melawan jelas tak bisa karena sang “polisi” punya kekuatan besar. Maka jalan yang dipilihnya adalah menyakiti hatinya.

Kedua, tipe pemberontak dengan cara halus, sadar bahwa tubuh kecilnya tidak mampu menandingi kekuatan “Polisi” yang tak lain orang tuanya sendiri mereka memilih sikap diam, tapi tidak juga mengikuti perintah.

Ketiga, tipe selalu terlambat. Anak-anak seperti itu baru mau mengerjakan suatu perintah setelah terlebih dahulu melihat orang tuannya jengkel, marah, dan mengomel karena kemalasannya.

Pola Asuh Permisif (PAP)

Orang tua yang baik tentunya tidak pernah bercita-cita menjadikan anaknya sebagai sampah masyarakat, tidak berguna dan tidak disiplin. Namun terkadang kita masih mendapati orang tua yang rela membiarkan anaknya tanpa bimbingan dan arahan. Anak menjadi tak terarah, dan merasa orang tuanya telah memberikan kebebasan sepenuhnya pada dirinya, sehingga setiap keputusan yang ia ambil adalah sepenuhnya hak priadi yang tak seorang pun dapat mencampurinya.

Dalam pendidikan sekolah, pola asuh permisif yang diterapkan orang tua akan memberi dampak kurangnya prestasi belajar, anak bisa saja menjadi malas dan tidak peduli dengan hasil belajar yang ia raih dikarenakan tidak adanya perhatian dari orang tua. Orang tua merasa tidak mampu memberikan pendidikan dan pengasuhan dengan baik sehingga menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada sekolah. Mereka melupakan peran penting dalam keluarga sebagai pendidik, pengasuh, pembimbing, pemberi motivasi, kasih sayang dan perhatian.

Seorang anak yang berkembang tanpa batasan dan aturan dan perhatian akan mengalami ketidakjelasan hidup dan hilangnya contoh teladan yang berakibat pada beralihnya anak kepada lingkungan, teman atau orang-orang terdekatnya dan menjadikannya figur. Mengenai pola asuh Permisif, Diana Braumrind dalam Syamsu Yusuf LN, menjelaskan sikap atau prilaku orang tua sebagai berikut:

1.      Sikap ”Acceptance”nya tinggi, namun kontrolnya rendah
2.      Memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan/keinginannya

Profil Prilaku Anak:
1.      Bersikap Impulsif dan Agresif
2.      Suka memberontak
3.      Kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri
4.      Suka mendominasi
5.      Tidak jelas arah hidupnya
6.      Prestasinya rendah[9]

Dapat disimpulkan bahwa anak yang mendapati pengasuhan dari orang tuanya dengan pola asuh permisif akan cinderung bersifat bebas tanpa aturan, dan memiliki emosi yang tidak stabil dan meledak-ledak, sedangkan orang tua tidak lagi dianggap sebagai sosok yang memiliki peran dan tauladan baginya. Ia menganggap bahwa apa yang ia raih adalah bersumber dari pribadinya dan tidak ada yang dapat memberikan aturan maupun larangan.

Pola Asuh Demokrasi (PAD)

Hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak semestinya didasari prinsip saling menghormati dan kasih sayang. Apabila orang tua selalu mengedepankan pendekatan secara personal dengan curahan kasih sayang, maka akan terbentuklah kepercayaan yang besar dalam diri anak. Anak akan bersikap terbuka kepada orang tuanya sehingga segala permasalahan dapat dicari kunci penyelesaianya. Selain itu orang tua lebih mudah memberi pengarahan dan nasihat serta meninggalkan cara-cara paksaan dan intimidasi.

Prilaku anak akan terbentuk secara bertahap menuju kepada kepribadian yang baik. Dorongan yang kuat secara terus-menerus sangat diharapkan dari orang tua. Sosok orang tua yang demokratis tidak mengedepankan kepentingan pribadinya, akan tetapi tetap menghargai dan memperhatikan kepentingan anak sebagai seorang individu diantara komunitas manusia. Dengan kata lain, orang tua selalu melihat kepentingan bersama sebagai pembatas dari kebebasan seorang inividu.

Latar belakang pengasuhan yang didapati anak tentulah sangat berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya, sebab hal-hal yang ia dapati dari pola pengasuhan orang tuanya akan menjadi bekal sikap dan prilakunya pada kehidupannya kelak.

Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan baik agama maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.[10]

Jadi, sudah jelas bahwa pola asuh demokrasi sangat memberi dampak positif pada perkembangan anak. Orang tua dapat mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya kepada anak secara baik dan sepenuhnya tanpa menggunakan cara-cara pemaksaan dan dan kekerasan. Dalam hal ini, orang tua harus menguasai komunikasi yang tepat dalam melakukan pendekatan agar proses pengasuhan dapat berjalan baik dan tidak mempengaruhi mental maupun perkembangannya.

Pola asuh demokrasi sangat mirip dengan apa yang dijelaskan Diana Baumrind Western dan Lioyd, 1994: 359-360; Sigelmen dan Sheffer, 1995: 396 mengenai hasil penelitiannya melalui observasi dan wawancara terhadap siswa taman kanak-kanak. Ia menjelaskan tentang parenting stayle Pola Asuh, diantara tiga tipe; Authoritarian, Permissive, dan Authorotative, tipe yang yang sama dengan pola asuh demokrasi adalah Authoritative. Beberapa sikap yang diambil orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak yaitu:

1.      Sikap “Acceptance” dan kontrolnya tinggi
2.      Bersikap responsive tehadap kebutuhan anak
3.      Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan
4.      Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk.

Profil Prilaku Anak yang ditimbulkan:

1.      Bersikap bersahabat
2.      Memiliki rasa percaya diri
3.      Mampu mengendalikan diri Self Control
4.      Bersikap Sopan
5.      Mau bekerjasama
6.      Memiliki rasa ingin tahunya yang tinggi
7.      Mempunyai tujuan/arah hidup yang jelas
8.      Berorientasi terhadap prestasi[11]

Dari paparan diatas dapat dilihat bahwa sikap demokratis orang tua tercermin dari tindakannya mau menghargai pribadi anak, serta menegur tindakan yang salah dari prilakunya secara baik-baik seperti yang dikatakan Irawati Istadi: “Harus dibedakan antara pribadi anak dengan prilaku bisa saja salah, tetapi pribadi anak tetap senantiasa baik.[12]

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan yang dipakai orang tua dalam pengasuhan sangat memberi dampak pada perkembangan anak, sehingga pola asuh demokrasi merupakan pola asuh yang baik dalam pengasuhan.

[1] Ahmadi Sofyan, Panduan Mendidik Remaja masa Kini the Best Parents in Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2002), h. 75
[2] Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 219
[3] Syansu Yusuf LN, Psikologi perkembangan anak dan remaja, (Bandung: Remaja Rosda karya, 2005), h.25
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 885.
[5] Laurence Steinberg, 10 Basic principles of good parenting. 10 prinsip dasar pengasuhan yang primaagar anda tidak menjadi orang tua yang gagal, Penerjemah, Lovly, (Bandung: Kaifa, 2005), h.24.
[6] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: IKIP, 1976), h.123
[7]Laurence Steinberg,  op. Cit., h. 94.
[8] Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, (Bekasi: Pustaka Inti, 2006), h. 21
[9] Syamsu Yusuf  LN, Op. Cit., h. 52
[10]Syamsu Yusuf  LN, Op. Cit., h. 38
[11] Syamsu Yusuf  LN, Op. Cit., h. 52
[12] Irawati Istadi, op. Cit., h. 61

Peran Orang Tua Sebagai Pendidik Moral


Ibu adalah orang yang paling dekat pada anak. Ia merupakan orang yang pertama yang mengajarkan cara berbicara, cara menghitung jari di tangan, dan cara mengekspresikan rasa kasih sayang dan simpati pada orang lain. Dengan demikian ia merupakan guru pertama dan utama dalam mengendalikan anaknya untuk menjadi orang yang baik dan berguna bagi orang. Kemudian ayah juga harus menjadi orang yang pertama atau orang nomor dua dalam kehidupan anak sebagai pendidik anak dan membimbingnya tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.
Menjadi orang yang berguna seperti kata Rasullullah SAW: khairunnas anfahum linnas- orang yang baik adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain. Namun dari kenyataan dalam hidup ini terlihat bahwa jutaan kaum bapak tidak tahu dan tidak mau tahu soal mendidik anak. Mereka terlalu menyerahkan urusan mendidik anak pada kaum ibu. Sebagian menganggap bahwa kalau ikut mendidik dan merawat anak maka karakter maskulin mereka akan merosot. Dalam pola rumah tangga tradisionil kaum bapak berpendapat bahwa mengendong, memberi susu dan mendidik anak adalah urusan kaum wanita. Tidak masalah atau dapat dimaafkan kalau kaum bapak tidak ikut mengurus pendidikan dan perawatan anak lantaran mereka super sibuk mencari nafkah demi keluarga juga. Namun apa kira kira ungkapan yang patut diberikan pada kaum bapak yang cuma pandai beranak kemudian kurang terampil dalam mencari nafkah apalagi dalam urusan mendidik keluarga ?. Itulah yang ada dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat tradisionil telah sepakat berpendapat bahwa tugas ibu adalah memelihara anak dan tugas ayah adalah bekerja, mencari uang, sehingga kaum ayah atau bapak tidak pantas menyediakan susu botol bayi, dan mengganti popok. Untuk keharmonisan keluarga dan perkembangan anak maka anggapan ini sangat merugikan.
Kaum bapak walaupun sibuk bekerja, namun juga harus bisa melibatkan diri dalam kehidupan rumah tangga. Malah ini dapat menambah rasa hormat istri pada suaminya. Kaum bapak yang berpandangan moderen di negara kita dan di negara maju lainnya bahwa walau mereka memiliki banyak posisi karir dan sibuk dengan beberapa aktivitas tetap melowongkan waktu untuk ikut mendidik anak, membantu meringankan pekerjaan rumah, ikut mencuci, memasak sehingga, sekali lagi, mereka mendapat simpati dan rasa hormat yang ekstra dari kaum wanita, istri mereka. Pada umumnya orang mendambakan untuk punya rumah tangga yang hangat, harmonis dan bahagia. Suasana rumah tangga yang begini tidak datang dengan sendirian namun harus dibina. Ayah dan ibu perlu melakukan proses bagaimana mengelola rumah tangga agar tumbuh bahagia.
Pola kepemimpinan dalam rumah tangga oleh ayah, dan pola pengasuhan oleh ibu sangat menentukan kebahagiaan anak-anak mereka. Ada tiga tipe kepemimpinan dan pengasuhan yang secara tak sengaja diterapkan oleh ayah dan ibu, yaitu tipe otoriter, laissez faire dan demokrasi. Orang tua yang otoriter cenderung berwatak keras, suka memaksakan pendapat. Tipe laissez faire adalah orang tua yang suka masa bodoh, serba tidak peduli atas apa yang terjadi, dan tipe demokrasi adalah pola kepemimpinan ayah dan pengasuhan kaumm ibu yang menghargai hak hak dan pendapat anak dan anggota keluarga yang lain.
Tentu saja rumah tangga yang didamba adalah rumah tangga yang hangat dan yang demokrasi. Orang tua atau ayah-ibu yang penuh penghargaan dimana kegiatan dalam rumah tangga dilaksanakan secara kebersamaan menurut peran yang telah disepakati.
Peran orang tua dalam mendidik moral anak
Dalam zaman dengan kemajuan teknologi dan informasi yang pengaruh positif dan negatifnya hampir tidak bisa dihindari. Dampak dari kemajuan ini menimbulkan plus dan minus, termasuk dalam hal dekadensi moral – kemerosotan moral. Maka peran orang tua sebagai pendidik moral anak sangat dituntut. Mereka perlu terlibat dalam mendidik anak agar mereka memiliki moral yang terpuji. Orang tua dapat belajar dari berbagai literatur dan bertukar pendapat tentang pendidikan dengan teman yang dianggap tahu. Ada banyak buku yang dapat dibeli atau dipinjam di perpustakaan atau literatur yang dapat diakses lewat internet yang berbicara tentang moral, pendidikan moral, moral dan sosial.
Dalam zaman yang serba mudah dalam mengakses ilmu pengetahuan bila orang tua tidak peduli akan otodidak, menambah ilmu dan wawasan sendirian, tentu akan sangat merugi bagi diri dan bagi keluarga mereka. Kepribadian Kartini Kartono (1985) mengatakan bahwa setiap pribadi itu unik. Tidak ada dua pribadi yang sama. Pribadi seseorang ditentukan oleh bakat, pendidikan, pengalaman- apakah pengalaman pahit atau menyenangkan- dan faktor lingkungan. Faktor eksternal yang berpengaruh pada anak bisa berasal dari rumah, sekolah, dan masyarakat seperti teman sebaya dan teman yang berbeda umur.
Pengaruh yang diterima (yang dialami) oleh seseorang waktu kecil maka bekasnya begitu mendalam dalam memori seseorang. Semua ha-hal yang disebutkan tadi sangat berpotensi dalam pembentukan kualitas kepripadian atau karakter seseorang. Namun dasar-dasar dalam pembentukan kualitas kepribadian adalah sejak dari rumah melalui sentuhan dan bimbingan orang tua. Bentuk perlakuan yang diterima anak dari orang tua dan lingkungan menentukan kualitas kepribadiannya. Seseorang yang memiliki kepribadian yang rapuh/ lemah terbentuk karena ia kurang memperoleh kasih sayang, kurang rasa aman dan akibat pemanjaan- menuruti kehendak anak tanpa mengajarkan rasa bertanggung jawab (memberi anak kegiatan tanggung jawab). Sebaliknya orang yang memiliki kepribadian yang kuat, ini terbentuk karena pemberian rasa kasih sayang, kehangatan jiwa dan pemberian aktivitas atau pengalaman hidup, life skill, pada anak.
Membina hubungan dan komunikasi
Kita tahu bahwa kualitas hubungan dan komunikasi yang diberikan orang tua pada anak akan menentukan kualitas kepribadian dan moral mereka. Hubungan yang penuh akrab dan bentuk komunikasi dua arah antara anak dan orang tua merupakan kunci dalam pendidikan moral keluarga. Komunikasi yang perlu dilakukan adalah komunikasi yang bersifat integrative, dimana ayah, ibu dan anak terlibat dalam pembicaraan yang menyenangkan dan menghindari model komunikasi yang bersifat dominatif atau suka menguasai pembicaraan. Pastilah orang tua yang dominatif, yang kerjanya “ngobrol” melulu tak henti-hentinya akan menjadi orang tua yang menyebalkan.
Selanjutnya diharapkan agar komunikasi orangtua dengan anaknya banyak bersifat mendorong, penuh penghargaan dan perhatian. Karena ini berguna untuk meningkatkan kualitas karakter dan moral anak. Hal lain yang perlu diperhatikan orang tua dalam membentuk moral anak melalui pendidikan dalam keluarga adalah menjaga kualitas hubungan dan komunikasi mereka, yaitu hubungan dan komunikasi yang ramah tamah dengan suasana demokrasi. Sebab keramahan dapat membuat anak merasa diterima.
Ada dua tingkat hubungan orang tua dan anak dalam berkomunikasi yaitu pada tingkat feelingatau perasaan, dan tingkat rasio atau logika. Hubungan pada tingkat feeling atau emosi yaitu untuk pemahaman atau empati; empati berarti memahami perasaan seseorang tanpa harus larut dalam emosinya. Hubungan pada tingkat rasio atau logika juga diperlukan untuk memecahkan masalah dalam keluarga. Kedua bentuk hubungan ini perlu untuk diaplikasikan oleh orang tua dalam membina moral anak.
Walau orang tua harus bersikap ramah dan menerapkan demokrasi pada keluarga, bukan berarti menunjukan karakter yang lemah dan suka mengalah. Dalam membuat keputusan orang tua tetap bersifat demokratis tetapi tegas dan jelas. Sebab orang tua yang tidak tegas dan mudah mengalah pada anak akan membuat anak bermental “plin plan” atau bermental “terombang ambing”.
Moral dan agama
Zakiah Daradjat (1976) mengatakan bahwa hubungan antara moral dan agama sangat erat. Orang yang taat beragama, moralnya akan baik. Sebaliknya orang yang akhlaknya merosot, maka agamanya tidak ada sama sekali. Kualitas agama seseorang juga ditentukan oleh kualitas pendidikan dan pengalaman beragama mereka sejak kecil. Mengajak anak-anak berusia kecil untuk mengunjungi berbagai mesjid, memberi fakir miskin sekeping roti dari tangan sendiri, mengunjungi panti asuhan dan panti jompo, menajak anak untuk ikut shalat dhuha dan tahajjud, akan dapat memperkaya pengalaman rohani anak dan akan berkesan sepanjang hayat anak. Membentuk pengalaman beragama pada anak saat kecil berarti menanamkan akar beragama pada mereka. Kelak pengalaman beragama, yang telah mengakar ini, akan mampu memperbaiki karakter, kepribadian dan moral anak.
Perlu untuk diperhatikan bahwa apabila latihan dan pengalaman beragama yang diterapkan secara kaku, maka di waktu dewasa mereka akan cenderung menjadi kurang peduli pada agama. Pembentukan moral dan agama selain ditentukan oleh faktor didikan dan sentuhan orang tua juga ditentukan oleh faktor sekolah dan pengalaman bergaul mereka dalam sosial. Memang bahwa pada mulanya sikap beragama anak pada mulanya dibentuk di rumah, namun kemudian disempurnakan di sekolah, terutama oleh guru-guru yang mereka sayangi atau yang mereka idolakan- maka guru yang diidolakan siswa hendaklah menjadi guru yang sholeh. Kemudian anak perlu juga untuk memiliki pengalaman bergaul dan melaksanakan aktivitas keagamaan, misal seperti di TPA (Taman Pendidikan Al-Quran), kegiatan menyantuni anak yatim dan fakir miskin, kegiatan didikan subuh. Dari pengalaman bersosial- begaul- sejak kecil, maka berkembanglah rasa kesadaran moral dan sosial anak. Kesadaran tersebut bisa lebih optimal pada masa remaja.
Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tidak perlu ada miskonsepsi dalam mendidik anak, ayah dan dan ibu memiliki peran yang sama dalam pendidikan anak. Malah kaum bapak yang terlibat dalam mengurus anank dan rumah akan sangat dihormati oleh istri mereka. Orang tua perlu menerapkan pola demokrasi di rumah dan memperlihatkan rasa akrab dalam keluarga agar anak merasa diterima. Untuk mendidik moral maka factor model atau suri teladan dari orang tua sangat menentukan, orang tua harus terlebih dahulu memiliki moral dan akhlak yang terpuji dan akhir kata bahwa anak perlu diberi tanggung jawab, perhatian, kasih sayang dan pengalaman beragama sejakm usia dini.

Selasa, 04 Maret 2014

STANDAR PENILAIAN BADAN STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN ( BSNP )


Pada peraturan pemerintah diamanatkan tiga jenis penilaian yaitu : Penilaian oleh pendidik dilakukan secara berkesinambunagn untuk mencapai proses, kemajuan, dan perbaikan hasil pembelajaran.
Penilaian oleh satuan pendidikan bertujuan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran sesuai programnya sebagai bentuk transparansi, professional , dan akuntabel lembaga
Penilaian oleh pemerintah bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu. Penilaian oleh pemerintah dalam pelaksanaannya diserahkan kepada BSNP.

Subunit 1
Latar Belakang Standar Nasional Pendidikan
1. Standar Penilaian dalam Standar Nasional Pendidikan
Standar nasional pendidikan disusun agar dapat dijadikan criteria minimal tentang sistem pendidikan diseluruh wilayah hukum Negara kesatuan Republlik Indonesia. Standar nasional pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidkan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Sedang tujuan standar nasional pendidkan adalah untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Dalam pasal 1 ayat 17 Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yaitu pasal 1 ayat 1 PP no.19 tahun 2005 dinyatakan bahwa lingkup dari standar nasional pendidikan meliputi 8 standar yaitu :
a. Standar isi
b. Standar proses
c. Standar kompetensi lulusan
d. Standar pendidik dan tenaga kependidikan
e. Standar sarana dan prasarana
f. Standar pengelolaan
g. Standar pembiayaan
h. Standar penilaian pendidikan

2. Landasan Filosofis dan Yuridis Standar penilaian
a. Landasan Filosofis
Pernyataan tersebut mengandung pengertian bahwa setiap siswa harus diperlakukan sama dan meminimalkan semua bentuk prosedur ataupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu atau sekelompok siswa. Disamping itu penilaian yang adil harus tidak membedakan latar belakang sosial ekonami, budaya , bahasa dan gender.
b. Landasan Yuridis
Untuk memberikan penilaian pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada kelompok mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu dan teknologi menurut PP no.19 pasal 66, dinyatakan secara tegas akan dilakukan dalam bentuk ujian nasional yang dilakukan secara obyektif, berkeadilan , dan akuntabel serta diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun.


3. Badan Standar Nasional Pendidikan
Ketentuan tentang tugas dan wewenang BSNP tertuang pada ayat 3 yang menyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas-tugasnya BSNP mempunyai wewenang untuk :
a. Mengembangkan Standar Nasional Pendidikan
b. Menyelenggarakan ujian nasional
c. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan
d. Merumuskan criteria kelulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Subunit 2
Standar Penilaian Pendidikan Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan
Menurut BSNP penilaian adalah prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang prestasi atau kinerja peserta didik, hasil penilaian digunakan untuk melakukan evaluasi yaitu pengambilan keputusan terhadap ketuntasan belajar siswa dan efektifitas proses pembelajaran.
1. Prinsip penilaian menurut BSNP
Pelaksanaan penilaian hasil belajar pesserta didik didaasarkan pada data sahih yang diperoleh melaui prosedur dan instrument yang memenuhi persyaratan denagn mendasarkan diri pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Mendidik
b. Terbuka dan transparan
c. Menyeluruh
d. Terpadu denagn pembelajaran
e. Obyektif
f. Sistematis
g. Berkesinambungan
h. Adil
i. Pelaksanaan penilaian menggunakan acuan kriteria

2. Pedoman penilaian oleh pendidik
BSNP dalam pedoman umum penilaian mengemukakan adanya standar penilaian oleh pendidik dan standar penilaian oleh satuan pendidikan .Standar penilaian oleh pendidik merupakan standar yang mencakup
a. Standar umum penilaian
b. Standar perencanaan penilaian oleh pendidik
c. Standar pelaksanaan penilaian oleh pendidik
d. Standar pengolahan dan pelaporan hasil penilaian oleh pendidik
e. Standar pemanfaatan hasil pendidikan

3. Standar Penilaian Oleh Satuan Pendidikan
Dalam memberi batasan standar penilaian hasil belajar yang harus dilakukan oleh satuan pendidikan BSNP mengemukakan dua standar pokok yaitu :
a. Standar penentuan kenaikan kelas
b. Standar penentuan kelulusan

Subunit 3
Mekanisme dan Prosedur Penilaian Menurut BSNP
1. Mekanisme dan Prosedur Penilaian
a. Dalam proses penilaian perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai berikut :
b. Penilaian ditujukan untuk mengukur pencapaian kompetensi
c. Penilaian menggunakan acuan criteria
d. Penilaian dilakukan secara keseluruhan dan berkelanjutan
e. Hasil penilaian digunakan untuk menentukan tindak lanjut
f. Penilaian harus sesuai dengan pengalaman belajar yang ditempuh dengan proses pembelajaran.
2. Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil pembelajaran, sehingga secara lebih terperinci dapat dijelaskan bahwa penilaian oleh pendidik ini digunakan untuk :
a. Menilai pencapaian kompetensi peserta dididk
b. Sebagai bahan penyusunan laporan hasil belajar
c. Memperbaiki proses pembelajaran
d. Membantu siswa untuk mencapai perkembangan optimal dalam proses dan hasil pembelajaran
e. Membantu dalam penilaian kelas


3. Penilaian Hasil Belajar oleh Satuan Pendidikan
Dijelaskan lebih jauh bahwa ada dua sistem yang dapat dilakukan oleh sekolah untuk mempromosikan siswanya ketingkat pendidikan yang lebih tinggi yaitu :
a. Sistem kredit atau beban belajar
b. Sistem kenaikan kelas (grade)
4. Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah
Dalam ayat 1 pasal 66 PP no.19 tahun 2005 dijelaskan bahwa penilaian hasil belajar oleh pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilakukan dalam bentuk ujian nasional.
Pada pasal 68 juga ditegaskan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan :
a. Pemetaan mutu program dan atau satuan pendidikan
b. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya
c. Penentuan kelulusan
d. Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan
5. Teknik Penilaian Menurut BSNP
Menurut pedoman umum BNSP, teknik penilaian yang dapat digunakan secara komplementer ataupun sendiri-sendiri sesuai dengan kompetensi yang akan dinilai antara lain :
a. Tes kinerja
b. Demonstrasi
c. Observasi
d. Penugasan
e. Portofolio
f. Tes tertulis
g. Tes lisan
h. Jurnal
i. Wawancara
j. Inventori
k. Penilaian diri
l. Penilaian antar teman (penilaian sejawat)

Subunit 4
1. Evaluasi hasil Belajar oleh Pemerintah
Tujuan penyelenggaraan UAN adalah :
a. Untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa
b. Mengukur tingkat pendidikan pada tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota dan sekolah
c. Mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, propinsi,kabupaten/kota dan sekolah kepada masyarakat
2. Pro dan Kontra Pelaksanaan Ujian Nasional
Upaya sosialisasi dan penyadaran kepada semua stakeholder tentang pemahaman fungsi UNAS dan standar kompetensi lulusan kepada siswa, orang tua guru maupun semua staf sekolah. Agar semua termotifasi untuk mengarahkan pembelajaran ke pencapaian standar kompetensi minimal yang harus dikuasai siswa ; orang tua akan memotivasi dan membimbing belajar anaknya, guru akan mengoptimalkan proses pembelajarannya untuk membelajarkan siswa mencapainya, demikian juga seluruh staf sekolah maupun berbagai pihak terkait. Bila secara nyata standar kompetensi ini telah tercapai, kapanpun di evaluasi, siapapun yang melakukan evaluasi, bentuk soal manapun, termasuk penyelenggaraan UNAS bukan lagi menjadi permasalahan yang besar.

Selasa, 19 Juli 2011
BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Maslah
Pendidikan merupakan sebuah proses kegiatan yang disengaja atas input siswa untuk menimbulkan suatu hasil yang diinginkan sesuai tujuan yang diharapkan. Sebagai suatu proses sengaja maka pendidikan harus dievaluasi untuk melihat apakah hasil yang telah dicapai sesuai dengan tujuan yang diinginkan dan apakah proses yang dilakukann efektif untuk Mencapai hasil yang diinginkan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan agar pendidikan dapat seragam maka pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 20/2003 Bab I Pasal I ayat (17) tentang standar nasional pendidikan. Dikemukakan bahwa “standar nasional pendidikan adalah criteria minimal tentang system pendidikan diseluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Standar Nasional pendidikan bukan hanya mengatur tentang standar isi, tetapi juga standar proses, kompetensi lulusan, teanga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Delapan standar nasional pendidikan ini menunjukkan bahwa standar penilaian pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari standar nasional pendidikan, karena itu standar penilaian mempunyai peran dan kedudukan yang sangat strategis dalam pendidikan. Setiap pendidik harus dapat memberikan pelayanan yang prima dan memperlakukan peserta didik secara adil, obyektif, dan bertanggungjawab, tidak terkecuali dalam penilaian pendidikan. Penilaian yang adil adalah penilaianyang tidak membedakan peserta didik antara satu dan lainnya, baik dilihat dari latar belakang social, ekonomi, agama, budaya, warna kulit, golongan, bahasa dan gender.
B. Rumusan masalah
Lalu bagaimanakah standar evaluasi pendidikan yang sesuai dengan standar nasional pendidikan di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Evaluasi
Menurut Ralph Tyler, evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Sedangkan menurut Cross evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi, dimana suatu tujuan telah dapat dicapai.
Definisi diatas menerangkan secara jelas hubungan evaluasi dengan tujuan suatu kegiatan yang mengukur derajat, dimana suatu tujuan dapat dicapai. Dalam evaluasi selalu mengandung proses. Proses evalausi harus tepat terhadap tipe tujuan yang biasanya dinyatakan dalam bahasa perilaku. Dikarenakan tidak semua perilaku dapat dinyatakan dengan alat evaluasi yang sama, maka evaluasi menjadi salah satu hal yang sulit dan menantang yang harus disadari oleh para guru. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang system Pendidikan Nasional pasal 57 ayat (1), evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, diantaranya terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan .
B. Tujuan Evaluasi
Evaluasi untuk suatu tujuan tertentu penting, tetapi ada kemungkinan tidak menjadi bermanfaat lagi untuk ujuan lain. Oleh karena itu, seorang calon guru harus mengenal beberapa macam tujuan evalausi. Tujuan evalausi yang dimaksud antara lain:
1. Menilai ketercapaian (attainment)
2. Mengukur macam-macam aspek belajar yang berfariasi
3. Sebagai sarana untuk mengetahui apa yang siswa telah ketahui
4. Memotivasi belajar siswa
5. Menyediakan informasi untuk bimbingan konseling
6. Menjadikan hasil evaluasi sebagai dasar perubahan kurikulum
C. Cakupan Evaluasi Pendidikan
Evaluasi pendidikan pada prinsipnya dapat dikelompokkan kedalam tiga cakupan penting, yaitu
1. Evaluasi pembelajaran
Evalasui pembelajaran merupakan inti bahasan evalasui yang kegiatannya dalam lingkup kelas atau dalam lingkup proses belajar mengajar. Evalausi pembelajaran kegiatannya termasuk kegiatan evalausi yang dilakukan oleh seorang guru dlam menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa. Bagi seorang guru, evaluasi pembelajaran adalah media yang tidak terpisahkan dari kegiatan mengajar, karena melalui evaluasi seorang guru akan mendapatkan informasi tentang pencapaian hasil belajar.
2. Evalausi program
Evaluais program mencakup pokok bahasan yang lebih luas. Cakupan bias dimulai dari evaluasi kurikulum sampai pada evaluasi program dalam suatu bidang studi. Sesuai dengan cakupan yang lebih luas maka yang menjadi objek evaluasi program juga dapat berfariasi, termasuk diantaranya kebijakan program, implementasi program, dan efektifitas program.
3. Evalasui Sistem
Evaluasi system merupakan evaluasi di bidang yang paling luas. Macam-macam kegiatan yang termasuk evaluasi system adalah evaluasi diri, evaluasi eksternal, dan evalasui kelembagaan untuk mencapai tujuan tertentu suatu lembaga.






D. Standar Evaluasi Pendidikan Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan
Dalam PP No.19 tahun 2005 pasal 63 disebutkan bahwa Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
 Penilaian hasil belajar oleh pendidik; §
 Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan §
 Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. §
1. Standar Penilaian oleh Pendidik
a) Standar umum
Standar umum penilaian adalah aturan main dari aspek-aspek umum dalam pelaksanaan penilaian. Untuk melakukan penilaian, pendidik harus selalu mengacu pada standar umum penilaian. Standar umum penilaian ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. Pemilihan teknik penilaian disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran serta jenis informasi yang ingin diperoleh dari peserta didik.
b. Informasi yang dihimpun mencakup ranah-ranah yang sesuai dengan standar isi dan standar kompetensi lulusan
c. Informasi mengenai perkembangan perilaku peserta didik dilakukan secara berkala pada kelompok mata pelajaran masing-masing
d. Pendidik harus selalu mencatat perilaku peserta didik yang menonjol, baik yang bersifat positif maupun negative dalam buku catatan perilaku
e. Melakukan sekurang-kurangnya tiga kali ulangan harian menjelang ulangan tengah semester, dan tiga kali menjelang ulangan akhir semester
f. Pendidik harus menggunakan teknik penilaian yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan
g. Pendidik harus selalu memeriksa dan member balikan kepada peserta didik atas hasil kerjanya sebelum memberikan tugas lanjutan
h. Pendidik harus mempunyai catatan komulatif tentang hasil penilaian untuk setiap peserta didik yang berada dibawah tanggungjawabnya. Pendidik harus pula mencatat semua kinerja peserta didik untuk menentukan pencapaian kompetensi peserta didik.
i. Pendidik melakukan ulangan tengah semester dan akhir semester untuk menilai penguasaan kompetensi sesuai dengan tuntutan dalam standar kompetensi (SK) dan standar lulusan (SL)
j. Pendidik yang diberi tugas menangani pengembangan diri harus melaporkan kegiatan peseta didik kepada wali kelas untuk dicantumkan jenis keggiatan pengembangan diri pada buku laporan pendidikan
k. Pendidik menjaga kerahasiaan pribadi peserta didik dan tidak disampaikan kepada pihak lain tanpa seizin yang bersangkutan maupun orang tua/wali murid


b) Standar perencanaan
Standar perencanaan penilaian oleh pendidik merupakan prinsip-prinsip yang harus dipedomani bagi pendidik dalam melakukan perencanaan penilaian. BSNP menjabarkan menjadi tujuh prinsip sebagai berikut:
a. Pendidik harus membuat rencana penilaian secara terpadu dengan silabus dan rencana pembelajarannya. Perencanaan setidak-tidaknya meliputi komponen yang akan dinilai, teknik yang akan digunakan serta criteria pencapaian kompetensi.
b. Pendidikan harus mengembangkan criteria pencapaian kompetensi dasar (KD) sebagai dasar untuk penilaian
c. Pendidik menentukan teknik penilaian dan instrument penilaiannyasesuai dengan pencapaian indicator pencapaian KD
d. Pendidik harus menginformasikan seawall mungkin kepada peserta didik tentang aspek-aspek yang dinilai dankriteria pencapaiannya
e. Pendidik menuangkan seluruh komponen penilaian kedalam kisi-kisi penilaian
f. Pendidik membuat instrument berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat dan dilengkapi dengan pedoman penskoran sesuai dengan teknik penilaian yang dilakukan
g. Pendidik menggunakan acuan criteria dalam menentukan nilai peserta didik


c) Standar pelaksanaan
Dalam pedoman umum penilaian yang disusun oleh BSNP, standar pelaksanaan penilaian oleh pendidik meliputi
a. Pendidik melakukan kegiatan penilaian sesuai dengan rencana penilaian yang telah disusun diawal kegiatan pembelajaran
b. Pendidik menganalisis kualitas instrument dengan mengacu pada persyaratan instrument serta menggunakan acuan criteria
c. Pendidik menjamin pelaksanaan ulangan dan ujian yang bebas dari kemungkinan terjadinya tindak kecurangan
d. Pendidik memeriksa pekerjaan peserta didik dan memberikan umpan balik dan komentar yang bersifat mendidik.


d) Standar pengolahan dan pelaporan hasil penilaian
Dalam pedoman umum penilaian yang disusun oleh BSNP, standar pengolahan dan pelaporan hasil penilaian oleh pendidik meliputi:
a. Pengambilan skor untuk setiap komponen yang dinilai
b. Penggabungan skor yang diperoleh dari berbagai teknik dengan bobot tertentu sesuai dengan aturan yang telah diterapkan
c. Penentuan satu nilai dalam bentuk angka untuk setiap mata pelajaran, serta menyampaikan kepada wali kelas untuk ditulis dalam buku laporan pendidikan masing-masing peserta didik
d. Pendidik menulis deskripsi naratif tentang akhlak mulia, kepribadian, dan potensi peserta didik yang disampaikan kepada wali kelas.
e. Pendidik bersama wali kelas menyampaikan hasil penilaian kepada rapat dewan guru untuk menentukan kenaikan kelas
f. Pendidik bersama wali kelas menyampaikan hasil penilaian kepada rapat dewan guru untuk menentukan kelulusan peserta didik pada akhir satuan pendidikan dengan mengacu pada persyaratan kelulusan satuan pendidikan
g. Pendidik bersama wali kelas menyampaikan hasil penilaiannya kepada orang tua/wali peserta didik.


e) Standar pemanfaatan hasil penilaian
Sesuai dengan pedoman umum penilaian yang dikeluarkan oleh BSNP, ada lima standar pemanfaatan hasil penilaian, yaitu:
a. Pendidik mengklasifikasikan peserta didik berdasar tingkat ketuntasan pencapaian standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD)
b. Pendidik menyampaikan balikan kepada peserta didik tentang tingkat capaian hasil belajar pada setiap KD disertai dengan rekomendasi tindak lanjut yang harus dilakukan
c. Bagi peserta didik yangbelum mencapai standar ketuntasan, pendidik harus melakukan pembelajaran remedial agar setiap peserta didik dapat mencapai standar ketuntasan yang dipersyaratkan
d. Kepada peserta didik yang telah mencapai standar ketuntasan yang dipersyaratkan dan dianggap memiliki keunggulan, pendidik dapat memberikan layanan pengayaan
e. Pendidik menggunakan hasil penilaian untuk mengevaluasi efektifitas kegiuatan pembelajaran dan merencanakan berbagai upaya tindak lanjut.
2. Standar Penilaian oleh Satuan Pendidikan
Menurut Permendiknas Nomor 04 Tahun 2010 tentang Ujian Sekolah/Madrasah Tahun Pelajaran 2009/2010, Ujian Sekolah/Madrasah adalah kegiatan penilaian dalam bentuk ujian tulis dan/atau praktik untuk mengetahui pencapaian standar kompetensi lulusan pada semua mata pelajaran yang tidak diujikan dalam Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) dan Ujian Nasional (UN).
Bahan Ujian Pada Satuan Pendidikan
(1) Bahan Ujian Sekolah/Madrasah disusun oleh satuan pendidikan berdasarkan kurikulum yang berlaku pada satuan pendidikan.
(2) Soal Ujian Sekolah/Madrasah disusun:
a. Berdasarkan kisi-kisi;
b. Mengikuti kaidah-kaidah penulisan soal sesuai dengan kompetensi yang dituntut dan materi yang sudah diajarkan;
c. Menggunakan Bahasa Indonesia yang benar;
d. Mempertimbangkan waktu mengerjakan soal.
Menurut BSNP ada dua standar pokok yang harus diperhatikan dalam penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, yaitu
e. Standar penentuan kenaikan kelas, standar ini terdiri atas tiga hal pokok, yaitu:
 Pada akhir tahun pelajaran, satuan pendidikan menyelenggarakan ulangan kenaikan kelas§
 Satuan pendidikan menetapkan standar ketuntasan belajar minimal (SKBM) pada setiap mata pelajaran. SKBM tersebut harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. §
 Satuan pendidikan menyelenggarakan rapa dewan pendidikan untuk menentukan kenaikan kelulusan§
f. Standar penentuan kelulusan
1) Pada akhir jenjang pendidikan, satuan pendidikan menyelenggarakan ujian sekolah pada kelompok mata pelajaran IPTEKS
2) Satuan pendidikan menyelenggarakan rapat dewan pendidikan untuk menentukan nilai akhir peserta didik pada:
 Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak muliav
 Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadianv
 Kelompok mata pelajaran estetikav
 Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan untuk menentukan kelulusanv
3) Satuan pendidikan menentukan kelulusan peserta didik berdasarkan criteria kelulusan yang telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah No. 19/2005 pasal 72 ayat (1) yang menyatakan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan dasar danmenengah setelah:
 Menyelesaikan seluruh program pembelajaranv
 Memperoleh nilai minimal balik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dankepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatanv
 Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan tekhnologiv
 Lulus ujian nasional. v


Dalam hal penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, BSNP mengemukakan ada dua system yang dapat dilakukan oleh sekolah untuk mempromosikan peserta didiknya ketingkat pendidik yang lebih tinggi, yaitu:
b. System kredit atau beban belajar, yaitu system yang tidak mengenal kelas. Dalam hal ini peserta didik dapat menyelesaikan program belajarnya sesuai dengan kemampuan individual. Melalui system ini setiap peserta didik dapat menyelesaikan dan memilih program belajarnya dengan kecepatan masing-masing.
c. System kenaikan kelas adalah system yang program belajar peserta didiknya terstruktur dalam paket-paket kelas. Dalam system ini ada dua tradisi kenaikan kelas yang dikembangkan, yaitu kenaikan kelas secara otomatis dan system kenaikan kelas.
3. Standar Penilaian Oleh Pemerintah
Penilaian oleh pemerintah ini dilaksanakan dengan Ujian nasional. Departemen Pendidikan Nasional telah menyelenggarakan apa yang disebut dengan ujian akhir nasional (UAN). Berbagai isu dan kritikan dari masyarakat terus bermunculan silih berganti, diantaranya:
a. Bentuk soal objektif-pilihan ganda dianggap kurang dapat diyakini untuk mengetahui kemampuan peserta didik yang sesungguhnya
b. Hampir setiap kali penyelenggaraan ujian nasional terjadi kebocoran soal, sehingga hasilnya dianggap kurang Obyektif
c. Nilai ujian akhir nasional murni merupakan satu-satunya alat seleksi untuk masuk kejenjang pendidikan berikutnya, sehingga terkesan seolah-olah proses dan hasil belajar yang ditempuh oleh peserta didik selama enam tahun di SD/MI dan tiga tahun di SLTP hanya ditentukan oleh satu kali ujian akhir nasional
d. Penyelenggaraan memerlukan biaya yang sangat besar, tidak sebanding dengan manfaat hasil ujian akhir nasional.


Rumusan Kelulusan Ujian Nasional Tahun 2011
Menurut BNSP bahwa penilaian kelulusan antara UN dan hasil belajar di sekolah tidak lagi saling memveto, namun bisa saling membantu. Untuk itu, penilaian UN digabung dengan nilai dari sekolah.
Kelulusan siswa dari sekolah dengan melihat nilai gabungan rencananya dipatok minimal 5,5. Nilai gabungan merupakan perpaduan nilai UN dan nilai sekolah untuk setiap mata pelajaran UN. Rumus yang ditawarkan pemerintah untuk nilai gabungan = (0,6 x nilai UN) + (0,4 x nilai sekolah). Nilai sekolah dihitung dari nilai rata-rata ujian sekolah dan nilai rapor semester 3-5 untuk tiap mata pelajaran UN.
Mendiknas mengatakan bobot UN mesti lebih besar dari nilai sekolah untuk mengontrol hasil kelulusan. Pasalnya, dari data-data yang ada masih banyak sekolah yang me-mark up nilai siswa. Dengan formula baru ini, rencananya akan dipatok nilai tiap mata pelajaran minimal 4,00. Integrasi nilai UN dan nilai sekolah ini diharapkan jadi pendorong untuk menganggap penting semua proses belajar sejak kelas 1 hingga kelas 3.
Adapun kriteria kelulusan ujian sekolah diserahkan kepada sekolah. Nilai sekolah merupakan nilai rata-rata dari ujian sekolah dan nilai rapor semester 3-5 setiap mata pelajaran yang tidak diujikan dalam UN. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendiknas Mansyur Ramli mengatakan penilaian kelulusan siswa tidak lagi hasil potret evaluasi sesaat. Penilaian dilakukan selama proses belajar siswa di sekolah.


BAB III
KESIMPULAN
Evaluasi dalam pembelajaran telah diatur dalam PP No. 19 tahun 2005 yaitu tentang Standar Nasional pendidikan
Dalam PP No.19 tahun 2005 pasal 63 disebutkan bahwa Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
 Penilaian hasil belajar oleh pendidik; §
 Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan §
 Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. §




DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1999. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara,


Sukardi. 2008. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara


Arifin, Zaenal. 2009. Evaluasi Pembelajaran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset,


Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2005 & PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru dan dosen. 2009. Bandung: Citra Umbara

Standar Penilaian Pendidikan
Latar Belakang

Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Definisi Penilaian dan Standar Penilaian Pendidikan

Penilaian adalah proses pengumpulan informasi untuk mengetahu pencapaian belajar peserta didik.
Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan
informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.
Standar penilaian pendidikan adalahstandar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
Menurut BSNP penilaian adalah prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang prestasi atau kinerja peserta didik, hasil penilaian digunakan untuk melakukan evaluasi yaitu pengambilan keputusan terhadap ketuntasan belajar siswa dan efektifitas proses pembelajaran.

Landasan Standar Penilaian

a. Landasan Filosofis
b. Landasan Yuridis

Prinsip Penilaian

Sah
Penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur.
Objektif
Penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.
Adil
Penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku,budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
Terpadu
Penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
Terbuka
Prosedur penilaian, kriteria penilaian dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan.
Menyeluruh dan berkesinambungan
Penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.
Sistematis
Penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku.
Beracuan kriteria
Penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan.
Akuntabel
Penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.

Teknik dan Instrumen Penilaian

1. Penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik penilaian berupa tes, observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik.
2. Teknik tes berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja.
3. Teknik observasi atau pengamatan dilakukan selama pembelajaran berlangsung dan/atau di luar kegiatan pembelajaran.
4. Teknik penugasan baik perseorangan maupun kelompok dapat berbentuk tugas rumah dan/atau proyek.
5. Instrumen penilaian hasil belajar yang digunakan pendidik memenuhi persyaratan:
a. Substansi adalah merepresentasikan kompetensi yang dinilai
b. Konstruksi adalah memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk instrumen yang digunakan
c. Bahasa adalah menggunakan bahasa yang baik dan benar serta komunikatif sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik.
6. Instrumen penilaian yang digunakan oleh satuan pendidikan dalam bentukujian sekolah/madrasah memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, dan bahasa, serta memiliki bukti validitas empirik.
7. Instrumen penilaian yang digunakan oleh pemerintah dalam bentuk UN memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, bahasa, danmemiliki bukti validitas empirik serta menghasilkan skor yang dapat diperbandingkan antarsekolah, antardaerah, dan antartahun.

Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh:
Pendidik
Satuan Pendidikan
Pemerintah

Penilaian Kelas

Manfaat penilaian kelas
1. Untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik agar mngetahui kekuatan dan kelemahannya dalam proses pencapaian kompetensi sehiungga termotivasi untuk meningkatkan dan memperbaiki proses dan hasil belajarnya.
2. Untuk memantau kemajuan dan mendiagnosa kesulitan belajar yang dialami peserta didik sehingga dapat dilakukan pengayaan dan remedial.
3. Untuk umpan balik bagi guru dalam memperbaiki metode, pendekatan, kegiatan dan sumber belajar yang digunakan..
4. Untuk masukan bagi guru guna merancang kegiatan belajar sedemikian rupa sehingga para peserta didik dapat mencapai kompetensi dengan kecepatan belajar yang berbeda-beda dalam suasana yang kondusif menyenangkan.
5. Untuk memberikan informasi kepada orang tua dan komite sekolah tentang efektivitas pendidikan sehingga partisipasi orang tua dan komite sekolah dapat di tingkatkan.

Prinsip Penilaian Berbasis Kelas
Motivasi.
Validitas.
Adil.
Terbuka
Berkesinambungan
Bermakna
Menyeluruh
Edukatif.
Karakteristik Penilaian Berbasis Kelas

Jenis, Standar Penilaian, dan Cara Penskoran
Jenis Penilaian
Penilaian Formatif.
Penilaian formatif adalah penilaian yang dilaksanakan guru pada saat berlangsungnya proses pembelajaran untuk melihat tingkat keberhasilan proses belajar-mengajar itu sendiri.
Penilaian Sumatif.
Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir unit program, yakni akhir caturwulan, akhir semester, dan akhir tahun.
Penilaian Diagnostik.
Penilaian diagnostik adalah penilaian yang bertujuan untuk melihat kelemahan-kelemahan siswa serta faktor penyebabnya.
Penilaian Selektif.
Penilaian selektif adalah penilaian yang bertujuan untuk keperluan seleksi, misalnya tes atau ujian saringan masuk ke sekolah tertentu.
Penilaian Penempatan.
Penilaian penempatan adalah penilaian yang ditujukan untuk mengetahui keterampilan prasyarat yang diperlukan bagi suatu program belajar dan penguasaan belajar seperti yang diprogramkan sebelum memulai kegiatan belajar untuk program itu.

Dari segi alatnya, penilaian hasil belajar terdiri atas
1. Tes tulisan (menuntut jawaban secara tulisan),
2. Tes tindakan (menuntut jawaban dalam bentuk perbuatan).

Soal-soal tes disusun dalam bentuk
1. Objektif
2. Eesai atau uraian.

Penilaian bukan tes mencakup
Observasi,
Kuesioner,
Wawancara,
Skala penilaia
Sosiometri
Studi kasus.
Penilaian Sikap
Sikap terhadap materi pelajaran.
Sikap terhadap guru atau pengajar
Sikap terhadap proses pembelajaran.
Sikap berkaitan dengan nilai-nilai atau norma-norma tertentu berhubungan dengan suasana materi pelajaran.
sikap berhubungan dengan kompetensi afektif lintas kurikulum yang relevan dengan mata pelajaran.

Standar Penilaian
a. Penilaian Acuan Norma (PAN)
Penilaian Acuan Norma (PAN) adalah penilaian yang menggunakan acuan pada rata-rata kelompok.
b. Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Penilaian Acuan Patokan (PAP) adalah penilaian yang menggunakan acuan pada tujuan pembelajaran atau kompetensi yang harus dikuasai siswa.
c. Cara Penskoran
Pemberian angka dalam menilai hasil belajar siswa (1 – 10)
2. Pemberian huruf (A, B, C, D, dan E)

Ranah Penilaian Hasil Belajar

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley membagi tiga macam hasil belajar, yakni:
(a) keterampilan dan kebiasaan
(b) pengetahuan dan pengertian
(c) sikap dan cita-cita.

Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima kategori belajar, yakni:
(a) informasi verbal
(b) keterampilan intelektual
(c) startegi kognitif
(d) sikap
(e) keterampilan motoris.

Menelisik konsep standar penilaian pendidikan

Tugas pokok guru dalam pembelajaran meliputi
Pembuatan
Perencanaan
Pembelajaran
Melaksanakan proses belajar mengajar
Melaksanakan proses penilaian hasil belajar.
Diposkan oleh Aditya Rahman di 23.23